Laporan dari Linksumsel.co.id mengungkap dinamika Pilkada DKI Jakarta yang telah berlangsung beberapa kali, dengan pola yang berbeda-beda. Hasil hitung cepat Pilkada Jakarta 2024 yang dirilis beberapa lembaga survei, seperti Charta Politika, LSI, dan SMRC, menunjukkan kemenangan telak pasangan Pramono Anung-Rano Karno dengan perolehan suara di atas 50 persen. Namun, lembaga lain seperti Indikator Politik dan Litbang Kompas mencatat angka yang berbeda, di bawah ambang batas 50 persen plus satu. Perbedaan ini memicu perdebatan sengit mengenai kemungkinan putaran kedua.
Related Post
Pasangan Pramono-Rano sendiri telah menyatakan kemenangan dan mengklaim Pilkada selesai dalam satu putaran berdasarkan hitungan internal mereka. Sebaliknya, pasangan Ridwan Kamil-Suswono memprediksi adanya putaran kedua karena tidak ada pasangan yang mencapai angka 50 persen plus satu. Sistem ini memang mengharuskan putaran kedua jika tidak ada kandidat yang memperoleh suara mayoritas mutlak. Jika lebih dari dua kandidat bertarung dan tak ada yang mencapai ambang batas tersebut, maka dua kandidat dengan perolehan suara tertinggi akan maju ke putaran kedua.
Menariknya, sejarah Pilgub Jakarta menunjukkan variasi yang signifikan. Pilkada 2007 hanya berlangsung satu putaran, dengan Fauzi Bowo-Prijanto meraih kemenangan mutlak sebesar 57,87 persen suara. Berbeda halnya dengan Pilgub 2012 dan 2017, yang keduanya berlangsung dua putaran. Pada 2012, persaingan ketat antara enam pasangan calon menghasilkan putaran kedua antara Jokowi-Ahok dan Foke-Nara, yang dimenangkan oleh Jokowi-Ahok. Begitu pula pada 2017, tiga pasangan calon bertarung, dan putaran kedua mempertemukan Ahok-Djarot dan Anies-Sandi, dengan kemenangan akhir diraih Anies-Sandi. Perbedaan ini menunjukkan kompleksitas dan dinamika politik yang selalu mewarnai Pilkada DKI Jakarta. Ketidakpastian hasil quick count 2024 pun semakin menambah intrik perebutan kursi DKI 1.
Tinggalkan komentar